KABARPOST, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang uji materi terhadap pasal 284, 285 dan 292 KUHP pada Selasa, 23 Agustus 2016. Permohonan pengujian itu diajukan Euis Sunarti, Rita Hendrawaty Soebagio, Dinar Dewi Kania, Sitaresmi Sulistyawati Soekanto, Nurul Hidayati, Sabriaty Aziz. Lalu Fithra Faisal Hastiadi, Tiar Anwar Bachtiar, Sri Vira Chandra, Qurrata Ayuni, Akmal dan Dhona El Furqon.
Sidang yang berlangsung Selasa itu mendengarkan keterangan saksi ahli hukum tata negara Universitas Indonesia, Hamid Chalid dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh.
Para pemohon meminta pelaku kumpul kebo, homoseksual dan perkosaan sesama jenis dipenjara. Rita menjelaskan homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.
Sehingga para pelaku dikenakan Pasal 292 KUHP dan dipenjara maksimal 5 tahun.“KUHP memang harus kita pahami. Tolong jangan kemudian seolah-olah kami mengkriminalkan mereka,” kata Rita usai persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi.
Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) memang bukan lagi kasus baru. Para pemohon dan saksi ahli memiliki sejumlah alasan bahwa perilaku LGBT masuk kategori kriminal.
Pertama, kata Rita, pencabulan sesama jenis termasuk dalam kategori tindakan kriminal. Dalam pasal 284 KUHP menjelaskan zina sebagai perbuatan persetubuhan yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang sudah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.
Dalam gugatannya, Rita menekankan agar kata menikah dihapus dalam pasal itu. Sebab, persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang belum menikah pun termasuk zina.
Kedua, dalam pasal KUHP tentang pemerkosaan hanya menjelaskan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Padahal, menurut Rita, pemerkosaan wanita terhadap wanita atau wanita terhadap laki-laki perlu dijelaskan dalam KUHP itu.
“Ini adalah sebagai bentuk preventif agar norma ini menjadi norma yang hidup di dalam masyarakat. Orang akan jadi hati-hati karena sebenarnya cabul sesama jenis itu enggak boleh,” ujar Rita.
Ketiga, diungkapkan oleh saksi ahli Hamid Chalid yang sepakat agar pelaku LGBT dan hubungan di luar nikah dipidanakan. Hamid menilai ada bahaya yang amat mengancam jika fenomena itu dibiarkan berkembang di tengah masyarakat.
"Sudah beredar, terjadi di stasiun kereta Kampus UI, antara laki-laki dan laki-laki berduaan mereka berciuman. Di ruang umum. Apakah ini bisa diterima? Jika jawabannya adalah iya, maka itulah saat yang pantas untuk kita berdiam diri," kata Hamid, dosen di Fakulta Hukum UI. "Bapak Ibu mau melihat anak laki-Lakinya berhubungan sejenis di ruang publik?," sambung Hamid berargumen.
Dia meyakini, LGBT dan seks bebas tidaklah sesuai dengan kehendak masyarakat. "Inilah saatnya MK menorehkan tinta sejarah untuk membenahi masyarakat kita," kata Hamid.
Keempat, diungkapkan Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh soal bahaya perilaku homoseksual terhadap masa depan anak. "Aktivitas seksual tanpa ikatan yang sah, baik beda jenis maupun sesama jenis (kelamin), baik antara dewasa dengan dewasa dan dewasa kepada anak, adalah hukumnya haram," kata Niam.
Menurut Niam, pasal-pasal di dalam KUHP memberikan kesan toleransi dan permisif terjadinya kekerasan seksual di masyarakat. Hubungan yang dilakukan orang dewasa dibenarkan oleh hukum (karena hanya terhadap anak yang diatur), ujarnya, dan tidak dianggap salah.
"Anak-anak kemudian menganggap itu absah. Anak-anak akan contoh dengan teori imitasinya. Akhirnya mencontoh kepada anak dengan anak," kata Niam.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyayangkan sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi agar kelompk LGBT dapat dipidana. "Tidak ada landasan hukumnya, itu hanya mengada-ada," kata Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.
Dia mengatakan tindakan kelompok LGBT tidak melanggar undang-undang. Karena Indonesia tidak melarang terhadap keberadaan LGBT. Posisi Indonesia, kata dia, sebagai negara pluralisme yang mengakomodir semua kelompok tanpa pilih kasih.
Menurut dia, LGBT adalah bagian dari perilaku, sifat, atau karakter seseorang yang melekat pada diri. Selama tidak merugikan dan melanggar undang-undang yang ada, kelompok LGBT tidak bisa dipidana hanya karena mereka berbeda.
Dia juga mengatakan sejauh ini negara belum merumuskan apakah kelompok LGBT itu suatu gejala penyakit atau bukan. Sehingga tak ada alasan untuk memenjarakan LGBT. Mereka berhak menentukan pilihan hidupnya dan itu telah diatur undang-undang.
Selama ini, kata dia, ada beberapa kelompok ekstremis yang menentang LGBT. Padahal pada umumnya masyarakat Indonesia legawa untuk menerima perbedaan. "Nyatanya LGBT banyak di pinggir jalan, mereka hidup bersama masyarakat," kata Natalius.
Sidang yang berlangsung Selasa itu mendengarkan keterangan saksi ahli hukum tata negara Universitas Indonesia, Hamid Chalid dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh.
Para pemohon meminta pelaku kumpul kebo, homoseksual dan perkosaan sesama jenis dipenjara. Rita menjelaskan homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.
Sehingga para pelaku dikenakan Pasal 292 KUHP dan dipenjara maksimal 5 tahun.“KUHP memang harus kita pahami. Tolong jangan kemudian seolah-olah kami mengkriminalkan mereka,” kata Rita usai persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi.
Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) memang bukan lagi kasus baru. Para pemohon dan saksi ahli memiliki sejumlah alasan bahwa perilaku LGBT masuk kategori kriminal.
Pertama, kata Rita, pencabulan sesama jenis termasuk dalam kategori tindakan kriminal. Dalam pasal 284 KUHP menjelaskan zina sebagai perbuatan persetubuhan yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang sudah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.
Dalam gugatannya, Rita menekankan agar kata menikah dihapus dalam pasal itu. Sebab, persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang belum menikah pun termasuk zina.
Kedua, dalam pasal KUHP tentang pemerkosaan hanya menjelaskan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Padahal, menurut Rita, pemerkosaan wanita terhadap wanita atau wanita terhadap laki-laki perlu dijelaskan dalam KUHP itu.
“Ini adalah sebagai bentuk preventif agar norma ini menjadi norma yang hidup di dalam masyarakat. Orang akan jadi hati-hati karena sebenarnya cabul sesama jenis itu enggak boleh,” ujar Rita.
Ketiga, diungkapkan oleh saksi ahli Hamid Chalid yang sepakat agar pelaku LGBT dan hubungan di luar nikah dipidanakan. Hamid menilai ada bahaya yang amat mengancam jika fenomena itu dibiarkan berkembang di tengah masyarakat.
"Sudah beredar, terjadi di stasiun kereta Kampus UI, antara laki-laki dan laki-laki berduaan mereka berciuman. Di ruang umum. Apakah ini bisa diterima? Jika jawabannya adalah iya, maka itulah saat yang pantas untuk kita berdiam diri," kata Hamid, dosen di Fakulta Hukum UI. "Bapak Ibu mau melihat anak laki-Lakinya berhubungan sejenis di ruang publik?," sambung Hamid berargumen.
Dia meyakini, LGBT dan seks bebas tidaklah sesuai dengan kehendak masyarakat. "Inilah saatnya MK menorehkan tinta sejarah untuk membenahi masyarakat kita," kata Hamid.
Keempat, diungkapkan Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh soal bahaya perilaku homoseksual terhadap masa depan anak. "Aktivitas seksual tanpa ikatan yang sah, baik beda jenis maupun sesama jenis (kelamin), baik antara dewasa dengan dewasa dan dewasa kepada anak, adalah hukumnya haram," kata Niam.
Menurut Niam, pasal-pasal di dalam KUHP memberikan kesan toleransi dan permisif terjadinya kekerasan seksual di masyarakat. Hubungan yang dilakukan orang dewasa dibenarkan oleh hukum (karena hanya terhadap anak yang diatur), ujarnya, dan tidak dianggap salah.
"Anak-anak kemudian menganggap itu absah. Anak-anak akan contoh dengan teori imitasinya. Akhirnya mencontoh kepada anak dengan anak," kata Niam.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyayangkan sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi agar kelompk LGBT dapat dipidana. "Tidak ada landasan hukumnya, itu hanya mengada-ada," kata Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.
Dia mengatakan tindakan kelompok LGBT tidak melanggar undang-undang. Karena Indonesia tidak melarang terhadap keberadaan LGBT. Posisi Indonesia, kata dia, sebagai negara pluralisme yang mengakomodir semua kelompok tanpa pilih kasih.
Menurut dia, LGBT adalah bagian dari perilaku, sifat, atau karakter seseorang yang melekat pada diri. Selama tidak merugikan dan melanggar undang-undang yang ada, kelompok LGBT tidak bisa dipidana hanya karena mereka berbeda.
Dia juga mengatakan sejauh ini negara belum merumuskan apakah kelompok LGBT itu suatu gejala penyakit atau bukan. Sehingga tak ada alasan untuk memenjarakan LGBT. Mereka berhak menentukan pilihan hidupnya dan itu telah diatur undang-undang.
Selama ini, kata dia, ada beberapa kelompok ekstremis yang menentang LGBT. Padahal pada umumnya masyarakat Indonesia legawa untuk menerima perbedaan. "Nyatanya LGBT banyak di pinggir jalan, mereka hidup bersama masyarakat," kata Natalius.
0 Response to "Alasan LGBT Diancam Bakal Dipidanakan "
Post a Comment